www.yayasandamarjati.or.id – (#BerkepribadianDalamBerkebudayaan – Kulonprogo, 02/08/2025). Edi Yulianto terbilang sosok yang unik. Dibandingkan mayoritas generasi Z yang lebih menyukai kehidupan modern di perkotaan, Edi memilih menekuni profesi sebagai petani, meneruskan usaha orang tuanya di lahan pesisir kawasan pantai Trisik, Desa Banaran, Kapanewon atau Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Saya awalnya tidak berminat menjadi petani karena stigma negatif petani seperti tingkat kesejahteraan dan pendidikan yang kurang, saya minder menjadikan petani sebagai profesi,” tutur Kepala Laboratorium Kedaulatan Pangan dan Agribisnis Kerakyatan (Lab.KPAK) Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) Unit Kulon Progo Edi Yulianto pada Direktur Eksekutif Damarjati Production Iwan Boyor Yulianto.
Edi menjelaskan bahwa sejak kecil membantu orang tuanya yang membentuk Kelompok Tani Sido Dadi di Trisik di akhir tahun 1990, turut melewati fase-fase sulit menjadi petani, di saat petani di Trisik pernah mengalami kontra dengan pihak pemerintah saat kawasan Trisik akan diubah menjadi kawasan pertambangan. Saat itu para petani Trisik berposisi memperjuangkan lahan penghidupan mereka yang semula lahan pesisir tandus menjadi lahan subur penghasil komoditas yang menjadi sumber penghidupan mereka. Kondisi ini mengilhami Ernawiyati nama pena Ketua Umum Yayasan Damarjati Erna Wiyati, S.T, M.M., menulis novel MIJIL dan lirik lagu Pasir Hitam.
“Sejak tahun 2015 dan saat masih duduk di bangku kuliah, saya telah mengorganisir petani milenial di Trisik. Dan para petani tersebut mayoritas mengembangkan tanaman hortikultura karena sesuai untuk lahan pasir di pesisir. Komoditas unggulan adalah cabai, selain itu mereka juga membudidayakan melon, semangka, sayur-sayuran, bawang merah, dan lain-lain. Selain itu juga memberikan penguatan kepada para petani binaannya bahwa petani Trisik mampu menjadi yang terdepan. Saat ini petani Trisik menjadi percontohan dari berbagai daerah,” jelas Kepala Lab.KPAK PETANI Unit Kulon Progo Edi Yulianto yang telah mengorganisir 73 orang petani berusia di bawah 40 tahun.
Menurut Edi, petani harus memiliki posisi tawar. Saat pasca panen harga di tingkat petani harus lebih bagus dari pada di tengkulak. Meskipun tengkulak sebenarnya tidak selalu negatif jika bisa memberikan posisi tawar. Karena ada barang yang tidak bisa diambil pasar misal karena kualitas kurang bagus, tengkulak bisa mengambil semua produk petani. Selain itu petani harus berkelompok untuk memudahkan mendapat bantuan atau kerja sama dengan berbagai pihak, seperti halnya di Trisik untuk budi daya pertanian di lahan pasir yang membutuhkan waktu berpuluh tahun.
“Saat ini Trisik menghasilkan 50 ton cabai per hari saat musim panen. Tahun 2014 mulai menginisiasi pasar lelang cabai. Dengan adanya pasar lelang, pedagang berlomba menawar barang dengan harga bagus, lebih layak bagi petani. Petani Trisik sempat bekerja sama dengan berbagai perusahaan, antara lain dengan perusahaan kosmetik untuk penanaman terong. Harga yang didapatkan bisa di atas harga pokok produksi. Para petani Trisik juga belajar jalur distribusi dan pemasaran petani langsung ke pasar induk. Saat ini lebih mudah menjadi petani dengan adanya perkembangan teknologi. Harapan saya generasi muda bangga bercita-cita menjadi petani. Jadilah petani yang adaptif terhadap perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence). Jadilah petani yang rajin mencoba hal-hal baru dengan belajar dari media sosial dan memanfaatkan sumber-sumber lain,” tutup Kepala Lab.KPAK PETANI Unit Kulon Progo Edi Yulianto.
-. Liputan : Tim Jaringan – Yayasan Damarjati.
-. Redaksi: Tim Humas -Yayasan Damarjati.
-. Editor: #SaDa
Salam berkepribadian dalam berkebudayaan.